AsalSilsilah Syekh Manshur Cikadueun Diposting oleh Admin Diperbaharui Pada: Kamis, 02 Desember 2010 ~ 00.29. Maulana Syarif Hidayatullah Syekh Sunan Gunungjati berputra; Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin) 1552 - 1570 berputra; Maulana Yusuf (Pangeran Pasareyan) 1570 - 1585 berputra.
makamsyekh mansyur cikadueun, kecamatan cimanuk, kab. pandeglang.menurut kisah yg berkembang di masyarakat, mempunyai nama sultan haji atau sultan abu al
Tempatkreatifitas dan berkarya dalam membangun kampung halaman Cikadueun Kampung Halaman-ku, Cikadueun, Kampung, Halaman-ku, Syekh Manshur Cikadueun, Syekh
Mantiungini terletak di desa sumur batu, kecamatan Cikeusik Pandeglang. Setelah lama mentransmisikan Islam ke berbagai daerah di Banten dan sekitarnya, Syekh Maulana Manyuruddin dan Khadamnya Ki Jemah kembali ke Cikaduen. Akhirnya Sheikh Maulana Mansyuruddin meninggal pada 1672 M dan dimakamkan di Cikaduen, Pandeglang, Banten.
Setelahsekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
AndaBerada Disini : Beranda » Tokoh Cikadueun » Silsilah Turunan KH. Syafei Cikadueun Silsilah Turunan KH. Syafei Cikadueun Diposting oleh Admin Diperbaharui Pada: Selasa, 07 Desember 2010 ~ 15.50. KH. Syafei + a.Hj. Hindun & b.Hj. Khodijah Jasir Umar a. Hj. Aen + a.KH. Entong & b.KH. Ma'ruf
Nontondulu baru komeng, Gan! Lihat video lainnya di Perjalanan Ke Syekh Mansyuruddin, Cikadueun
Sumberlain mengatakan , Syekh Mansyur Cikadueun adalah ulama besar yang berasal dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syehk Nawawi al Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam perang Diponogoro ditangkap oleh Belanda, Syekh Mansyur dilkejar oleh Belanda dan akhirnya menetap di kampung Cikadueun, Syekh Nawawi kemballi ke Mekkah.
Thereligion tour destination in Pandeglang regency are very rich; one of them is Syekh Mansyur Cikadueun, as a religion tour which has potentially increased the standard of economy and social of local society at the area. The purpose of the research is to know the economy and social impact as the existence the religion tour object to the local
syekhmaulana mansyuruddin atau biasa dikenal sultan haji beliau adalah seorang ulama / sultan ke 7 banten berdarah bangsawan banten putra dari sultan ageng tirtayasa yang merupakan penyebar agama
KpdSaudara/i yg mengetahui atau memiliki catatan silsilah keturunan TB syekh Maulana Manyur dari istirinya yg bernama Nyi Mas Ratu Sarinten Cikarae Tolong informasikan! saya ingin tahu dengan Keluarga Besar TB.
AndaBerada Disini : Beranda » Tokoh Cikadueun » Silsilah Turunan KH. Aliyudin Cikadueun Aliyudin Cikadueun Diposting oleh Admin Diperbaharui Pada: Rabu, 08 Desember 2010 ~ 15.54
SyekhMaulana Mansyuruddin atau biasa dikenal Sultan Haji beliau adalah seorang 'ulama / Sultan ke 7 Banten berdarah bangsawan Banten putra dari Sultan Ageng Tirtayasa (Raja Banten ke 6) yang merupakan Penyebar Agama Islam diwilayah Banten Selatan dan di wilayah banten yang lainnya, banten selatan atau kalau sekarang Pandeglang dan sekitarnya.
WisataKomplek Makam Syekh Mansyur di Cikadueun Pandeglang Banten sangat cocok untuk mengisi kegiatan liburan anda, apalagi saat liburan panjang seperti libur nasional, ataupun hari libur lainnya. Keindahan Wisata Komplek Makam Syekh Mansyur di Cikadueun Pandeglang Banten ini sangatlah baik bagi anda semua yang berada di dekat atau di kejauhan
Asalamualaikum.Sedulur Syech Mansyur mohon petunjuk tentang Silsilah ini? Hatur Nuhun
g4lHt. Hey there, time traveller! This article was published 25/10/2022 234 days ago, so information in it may no longer be current. A former Buddhist monk who subjected two young girls to years of sexual abuse at a Winnipeg temple has been sentenced to 11 years in prison. Southone Silaphet, 74, was convicted after trial last year of two counts of sexual interference. Silaphet abused the two victims between 2016 and 2019, during visits to the Wat Lao Xayaram temple on Sinclair Street where he had been head monk for more than 12 years. Silaphet abused the two victims between 2016 and 2019 during visits to the Wat Lao Xayaram temple on Sinclair Street where he had been head monk for more than 12 years. Jesse Boily / Winnipeg Free Press files Silaphet’s actions represented a severe betrayal of trust and caused the victims to question their culture and faith, provincial court Judge Stacy Cawley said in a 24-page decision released earlier this month. “He was trusted because he was head monk — a position that would garner respect and imply morality,” Cawley said. “His actions were opposite to what would be expected of a dedicated religious leader. His conduct was exacerbated by the fact he sexually abused the victims in the temple, a sacred place, where the children should have felt safe.” Silaphet employed “a high degree of manipulation” in abusing his victims, telling one girl his acts of molestation would keep the spirit of her dead grandmother alive, Cawley said. “He told her it would be disrespectful to her grandmother to not let him do what he wanted,” Cawley said. “Silaphet’s exploitation of her love of her grandmother and her faith was insidious.” Silaphet was arrested in 2019 after the girl told her school guidance counsellor she had been sexually abused. The abuse, which included kissing, fondling underneath her clothes and biting, had happened “for as long as I really remember,” the girl told an investigator in a police video statement provided to court at trial. Silaphet, who lived at the temple, a converted fire hall, abused the girl in an upstairs office equipped with security cameras that allowed him to see people coming up the stairs, the girl said. On one occasion, the girl said, Silaphet saw a man walking up the stairs and made the girl hide in a closet until he had left. “It was confusing. That’s when I kind of realized that this was wrong, that it wasn’t supposed to be happening,” she said. A second pre-teen victim said Silaphet repeatedly touched her under her clothing “in wrong places” while the two were alone in his upstairs office. “He would tell my mom that he just wanted us to pray, even though it wouldn’t be praying,” the girl said in a separate police video interview. Silaphet testified at trial with the help of a Laotian interpreter and flatly denied abusing the girls, saying he was never alone with them for more than a few minutes. Cawley, in convicting Silaphet in December, rejected his testimony as self-serving, saying it “appeared tailored to minimize the contact he had with the complainants and the degree of his favouritism.” Defence lawyer Kathy Bueti had urged Cawley to consider a sentence of no more than 30 months, arguing, in part, Silaphet has already lost his job and home as a result of his crimes and has suffered the stigma of being a convicted sex offender. Such impacts are the natural consequences of his actions, Cawley said. “It should come as no surprise to Mr. Silaphet that he would lose the position of head monk and all the privileges that he enjoyed because he abused that position when he sexually violated children in the temple.” Dean PritchardCourts reporter Someone once said a journalist is just a reporter in a good suit. Dean Pritchard doesn’t own a good suit. But he knows a good lawsuit. Read full biography
Humas – Pandeglang 21/03 “Mengenal tokoh Syekh Maulana Mansyuruddin Cikadueun – Pandeglang” PANDEGLANG, Bila anak bangsa sudah mulai melupakan sejarahnya, maka hilanglah kebesaran generasi bangsanya. Manusia adalah makhluk pelupa. Kemarin seharusnya menjadi sejarah hari ini. Hari ini menjadi sejarah esok hari. Dan esok menjadi sejarah untuk lusa yang lebih baik. Begitu seterusnya tiada berkesudahan. Tapi ternyata tidak berlaku untuk manusia-manusia pelupa. Fakta-fakta sejarah yang menunjukkan betapa signifikannya peran-peran Ulama dan Santri. Para Ulama dan Santri sudah memperhatikan sejarah mereka di esok hari. Tinggal kita sekarang, apakah akan melanjutkannya atau tetap nyaman menjadi manusia-manusia amnesia. Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan masa lalu yang mana fondasinya sudah dipancangkan kuat oleh para Ulama dan Santri. Dan tidak akan cukup kalau kita menuliskannya dalam lembaran artikel sederhana ini. Setidaknya, gambaran sederhana di atas bisa memantik kesadaran kolektif kita tentang sejarah. Berikut ini sebuah tulisan yang dibuat oleh Halwany didalam blognya , mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi referensi bagi generasi-generasi muda. ———————————————————————– Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Syekh Mansyuruddin. Menurut ceritanya Sang syekh adalah salah seorang yang menyebarkan agama Islam di derah Banten Selatan. Dengan peninggalannya berupa Batu Qur’an yang sekarang banyak berdatangan wisatawan untuk berzirah atau untuk mandi di sekitar patilasan, karena disana ada kolam pemandian yang ditengah kolam tersebut terdapat batu yang bertuliskan Al-Qur’an. Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji, beliau adalah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa raja Banten ke 6. Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah berhenti dari kesutanan Banten, dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Maulana Mansyurudin dan beliau diangkat menjadi Sultan ke 7 Banten, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sultan Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Pada saat berangkat ke Bagdad Iraq, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah menggunakan/ memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sultan Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah China, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai putra satu. Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sultan resmi Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya dikarenakan Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sultan Maulana Mansyurudin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sultan Maulana Mansyurudin telah pulang termasuk Sultan Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyuruddin ternyata adalah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai Pulau Menjeli China. Selama menjabat sebagai Sultan palsu dan membawa kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sultan dan keluarganya termasuk ayahanda Sultan yaitu Sultan Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan di seluruh rakyat Banten Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh seorang tokoh atau Auliya Alloh yang bernama Pangeran Bu`ang Tubagus Bu`ang, beliau adalah keturunan dari Sultan Maulana Yusuf Sultan Banten ke 2 dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan dapat diredakan dan rakyat pun membantu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi pertempuran antara Sultan Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran itu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada Sultan Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sultan Agung Tirtayasa. Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sultan Agung Abdul Fatah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli China, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh karena telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT sampai beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh. Setelah itu beliau berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk dapat pulang ke Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Alloh SWT beliau menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Sehingga akhirnya Sultan Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain menjadi seorang Sultan beliau pun mensyiarkan islam di daerah Banten dan sekitarnya. Dalam perjalanan menyiarkan Islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai Sarinten Nyi Mas Ratu Sarinten dalam pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya seperti Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di Pasarean Cikarayu Cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan. Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sultan Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus. Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru beliau mendengar suara harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur dapat mengerti bahasa binatang, Karena beliau adalah seorang manusia pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya beliau kima yang menjepit kaki harimau dapat dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bai`at oleh beliau, lalu beliau pun berbicara “Saya sudah menolong kamu ! saya minta kamu dan anak buah kamu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan saya”. Kemudian harimau itu menyanggupi dan akhirnya diberikan kalung surat Yasin di lehernya dan diberi nama Si Pincang atau Raden Langlang Buana atau Ki Buyud Kalam. Ternyata harimau itu adalah seorang Raja/Ratu siluman harimau dari semua Pakuwon yang 6. Pakuwon yang lainnya adalah 1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa 2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana 3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang 4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya 5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri 6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang. Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
Salah satu cerita rakyat yang berkaitan erat dengan Islamisasi di wilayah Banten adalah adanya kisah Sheikh Mansyuruddin Cikadueun. Menurut catatan sejarah, Syekh Manshur bernama asli Abdul Qohar, beliau merupakan salah satu waliullah yang menyebarkan Islam di wilayah Banten Selatan. Dengan warisannya berupa "Batu Qur'an", wisatawan sekarang bisa datang untuk mengambil barokah atau mandi di kolam yang berdekatan dengan patilasan Syekh Manshur tersebut, karena disana ada kolam air yang di tengah-tengah kolamnya terdapat batu yang dikatakan sebagai batu Al-Qur'an. Sheikh Maulana Mansyuruddin kesohor dengan julukan Sultan Haji, ia adalah anak dari Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa raja ke-6 dari Banten. Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah mewariskan kesutanan Banten dan pemerintahannya diberikan kepada anaknya, Sultan Maulana Mansyurudin, beliau sultan Manshurudin diangkat sebagai Sultan ke 7 dalam kesultanan Banten. Sekitar 2 tahun melayani kesultanan Banten, beliau berkeinginan untuk berangkat ke Baghdad Irak, dengan tujuan mendirikan kerajaan Banten di negeri Irak, sehingga kesultanan Banten untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Ketika beliau akan pergi ke Baghdad Irak, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi nasehat oleh ayahnya "Jika engkau ingin meninggalkan Banten karena ingin mendirikan negara Banten di Baghdad, engkau tidak boleh menggunakan atribut kerajaan apapun karena engkau akan mendapatkan malu, dan jika engkau ingin berangkat ke Baghdad, maka janganlah berhenti di manapun, engkau harus langsung ke Baghdad kecuali engkau berhenti dulu di Mekah atau kembali lagi ke Banten dengan segera”. Begitulah nasehat Abdul Fatah kepada Anaknya, Sultan Manshur. Sesampainya di Baghdad, ditemukan bahwa Sultan Maulana Manshuruddin tidak dapat mendirikan kerajaan Banten di Baghdad. Sehingga dia bertolak untuk langsung pulang ke Banten saja. Di dalam perjalanan pulang, Sultan Mansyuruddin malah lupa akan nasehat ayahnya, beliau malah berhenti di pulau Menjeli di wilayah Cina, dan menetap kurang dari dua tahun di sana, ia menikah dengan ratu Jin dan memiliki seorang putra. Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli Cina, Sultan Adipati Ishaq, anaknya di Banten, dibujuk oleh Belanda agar meresmikan diri menjadi Sultan Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujui akan hal ini, karena Sultan Maulana Manshurudin masih hidup dan harus menunggunya kembali pulang ke tanah Baghdad. Pihak Belanda tentu saja tidak suka akan keputusan Abdul Fatah, sehingga mereka membuat kekacauan didalam Kesultanan Banten. Kekacauan ini juga kabarnya dimulai dengan kedatangan seorang laki-laki yang turun dari perahu di pesisir pantai daerah Banten, laki-laki tersebut mengaku sebagai Syekh Manshurudin, masyarakat percaya akan hal itu, pihak keluarga kerajaan pun mempercayainya, sehingga si laki-laki ini kemudian mengatur kerajaan banten, yang ternyata di kemudian hari, laki-laki ini bukanlah Syekh manshur tetapi seorang laki-laki yang masih keturunan dari Raja Jin pulau Menjeli, Cina. Sementara semua orang melayani Sultan palsu itu dan terjadilah kekacauan di tanah Banten. Masyarakat di seluruh Banten menjadi benci kepada sang Sultan, termasuk ayahnya sendiri yakni Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan ini, pihak keluarga kesultanan meminta bantuan kepada salah seorang waliullah Banten yang kesohor dengan Pangeran Bu`ang Tubagus Bu`ang, beliau masih keturunan Sultan Maulana Yusuf Sultan Banten ke 2 dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Semua orang ikut membantu Sultan Agung Abdul Fatah bersama Pangeran Tubagus Bu`ang dalam pertarungan melawan Sultan Maulana Mansyuruddin palsu, tapi dalam pertempuran tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Tubagus Bu'ang kalah dan dibuang ke daerah Tirtayasa. dari kejadian ini orang-orang Banten memberikan julukan untuk Sultan Agung Abdul Fatah sebagai Sultan Agung Tirtayasa. Berita pertempuran Sultan Abdul Fatah akhirnya sampai juga ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin yang saat itu berada di pulau Menjeli China, jadi dia teringat kembali akan pesan ayahnya agar jangan mampir-mampir ke negri orang, pada akhirnya dia menyesali perbuatannya tersebut dan berniat untuk pulang ke Banten. Sebelum pulang ke Banten, Syekh Manshurudi berniat untuk pergi ke Mekkah terlebih dahulu, tetapi jangan berpikir menaiki perahu, karena beliau adalah seorang waliullah yang dengan keilmuannya bisa saja beliau dalam sekejap mata berada di Mekkah. Tujuan Syekh Manshur pergi ke Mekkah tentunya untuk melaksanakan ibadah haji, yang kedua adalah meminta pengampunan kepada Allah atas perbuatannya karena meninggalkan kesultanan begitu lama sehingga terjadi huru-hara di tanah Banten. Di Mekkah inilah Sultan Manshurudin mendapatkan julukan baru yakni 'Syekh' dari para ulama setempat, sehingga beliau lebih banyak di kenal di tanah Banten sebagai waliullah Syekh Manshurudin ketimbang dikenal sebagai raja banten. Ketika semua urusannya sudah beres di mekkah, Syekh Manshur kebingungan untuk pulang ke Banten, di saat kebingungan itulah beliau mendapat petunjuk agar pergi ke arah sumur Zam-Zam. Syekh Manshur ketika berada di pinggir lubang sumur Zam-zam beliau lalu berdoa kepada Allah agar bisa melakukan perjalanan dengan selamat, beliau lalu menceburkan diri ke sumur zam-zam dan dengan izin Allah tiba-tiba sudah berada di sebuah kolam air di daerah pandeglang tepatnya di kawasan Cibulakan. Sejarah Batu Quran Ada cerita menarik di desa Cibulakan ini, penulis sempat juga berkunjung beberapa kali ke kolam keramat ini, sehingga tau betul lokasi 'cibulakan' yang berada di bawah, sehingga kalau hujan, otomatis air dari atas akan turun ke bawah dan banyak air yang menggenang di sana, artinya cibulakan memang tempat dimana sering banjir bila musim hujan, banyak penduduk yang merasa risih bila datang musim hujan, sehingga meminta bantuan kepada Syekh Manshur untuk mengatasi banjir ini. Menurut suatu kabar berita, syekh manshur lalu meletakan kitab al-Quran diats sebuah batu yang berada di tengah kolam, dengan ijin Allah, air banjir yang menggenangi 'cibulakan' menjadi surut masuk kedalam batu tersebut, sampai sekarang bila musim hujan sekalipun, cibulakan tidak pernah lagi kebanjiran. Sampai hari ini penduduk desa dan warga Banten menjuluki batu tersebut dengan julukan 'Batu Quran'. Syekh Manshur akhirnya pulang ke Kesultanan Banten untuk mengatasi situasi Banten yang sedang kacau sekaligus membersihkan namanya dan menyingkirkan Sultan Palsu. Kesultanan Banten lalu diserahkan kepada putranya, sedangkan Syekh Manshur sendiri lebih suka 'berdakwah' menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Banten Pernikahan Ketika beliau dalam perjalanan pulang ke Banten tepatnya di kawasan Batu Quran Cikoromoy, beliau menetap lama disana dan menikah dengan Ratu Nyi Mas Sarinten, dalam pernikahannya dengan nyi Sarinten, beliau mempunyai seorang anak yang bernama Muhammad Salih Penumpang yang diberi gelar Abu Salih. Selepas tinggal lama di kawasan Cikoromoy insiden malang terjadi dimana istri beliau, Ratu Nyi Mas Sarinten meninggal dunia akibat tergelincir karena menginjak rambutnya yang panjang. Dan memang Nyi Mas Sarinten terkenal sebagai seorang wanita yang mempunyai rambut panjang melebihi kakinya, dari kejadian itulah, Syekh Manshur melarang semua keturunannya, yakni perempuan agar tidak memanjangkan rambut seperti rambutnya nyi Mas Sarinten Istri Syekh Manshurudin, nyi mas Sarinten dikebumikan tak jauh dari lokasi Cibulakan tepatnya di pekuburan Cikarayu Cimanuk. Selepas kematian istrinya, Syekh Manshur kemudian pindah ke kawasan Cikadueun dengan membawa Khodamnya yakni Ki Jemah. Ki Jemah ini merupakan seorang pelayan yang begitu setia menemani kemanapun Syekh Manshur pergi, beliau inilah yang mengurus semua keperluan dan kebutuhan Syekh Manshur. Setelah menetap di Cikaduen Pandeglang, Syekh Manshur menikah lagi dengan Nyai Mas Ratu Jamilah, seorang wanita sholihah yang dari Caringin Pandeglang. Suatu hari, Sheikh Maulana Mansyur menyebarkan agama Islam Islam sampai ke selatan pantai banten, di dalam perjalanannya beliau dan Ki Jemah sempat beristirahat di bawah pohon waru di sebuah hutan Pakuwon Mantiung, tiba-tiba saja, pohon-pohon waru itu mendongok kebawah seperti memayungi beliau berdua, hingga sekarang pohon-pohon waru di sana tidak ada yang lurus sebab pernah 'memayungi' syekh Manshur dan Ki Jemah. Ketika Syekh Manshur dan Kijemah beristirahat di bawah pohon waru, syekh mendengar lolongan harimau yang seolah-olah merasakan kesakitan yang mendalam, syekh manshur lalu menghampiri harimau tersebut dan ternyata si harimau kakinya terjepit kima, dengan ijin Allah syekh manshur lalu melepaskan kima tersebut dan si harimau di baiat oleh syekh Manshur agar jangan mengganggu anak dan cucu keturunan syekh manshur, dan ternyata harimau itu bukanlah harimau biasa, sebab harimau itu merupakan harimau dari alam gaib yang menguasai 6 pakuwon, si harimau menyanggupi syarat dari syekh Manshur untuk tidak mengganggu anak keturunann syekh manshur, dan si harimau itu diberi kalung surat yasin digantungkan di lehernya dan diberi nama si pincang atau raden langlang buana atau ki buyut kalam. Berikut 6 Pakuwon yang dipimpin oleh Ki Langlang Buana 1. Pakuwon Ujung Kulon Pemimpinnya adalah Ki Maha Dewa 2. Pakuwon Gunung Inten Pemimpinnya adalah Ki Bima Laksana Gunung Inten ini terletak di kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung 3. Pakuwon Lumajang Pemimpinnya adalah Raden Singa Baruang Pakuan Lumajang ini terletak di Lampung 4. Pakuwon Gunung Pangajaran Pemimpinnya adalahKi Bolegbag Jaya Gunung Pangajaran ini terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang 5. Pakuwon Manjau Pemimpinnya adalah Raden Putri Majau ini terletak didesa Majau kecamatan Saketi Pandeglang Banten 6. Pakuwon Mantiung Pemimpinnya adalah Raden Buana atau Ki Buyut Kalam atau Si Pincang yang diselamatkan oleh Syekh Manshur. Mantiung ini terletak di desa sumur batu, kecamatan Cikeusik Pandeglang. Setelah lama mentransmisikan Islam ke berbagai daerah di Banten dan sekitarnya, Syekh Maulana Manyuruddin dan Khadamnya Ki Jemah kembali ke Cikaduen. Akhirnya Sheikh Maulana Mansyuruddin meninggal pada 1672 M dan dimakamkan di Cikaduen, Pandeglang, Banten. Hingga saat ini, makamnya sering dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat.
silsilah syekh mansyur cikadueun